Friend Connect

Kamis, 23 Desember 2010

Teori Sosiologi

Tujuan ilmu pengetahuan adalah untuk mengembangkan teori yang masuk akal dan dapat dipercaya. Hanya dengan berteori, pertanyaan-pertanyaan dasar mengenai situasi social yang ada di dalam kehidupan manusia dapat dijawab. Karena itu, sebelum berbicara tentang teori-teori sosiologi, maka ada baiknya kita uraikan secara singkat terlebih dahulu tentang pengertian teori, fungsi teori serta pengklasifikasian teori sosiologi.
a. Pengertian teori
Menurut Turner teori merupakan proses mental untuk membangun ide sehingga ilmuwan dapat menjelaskan mengapa peristiwa itu terjadi (Sunarto, 2000: 225). Sedangkan Kornblum mengemukakan bahwa teori merupakan seperangkat jalinan konsep untuk mencari sebab terjadinya gejala yang diamati. Dalam proses pencarian sebab ini, ara ilmuwan membedakan antara faktor yang dijelaskan dengan faktor penyebab.

Menurut Soerjono Soekanto (2000: 27), suatu teori pada hakikatnya merupakan hubungan antara dua fakta atau lebih, atau pengaturan fakta menurut cara-cara tertentu. Fakta merupakan sesuatu yang dapat diamati dan pada umumnya dapat diuji secara empiris. Oleh sebab itu dalam bentuk yang paling sederhana, teori merupakan hubungan antara dua variabel atau lebih yang telah diuji kebenarannya.
Bagi seseorang yang belajar sosiologi, teori mempunyai kegunaan antara lain untuk (Zamroni, 1992: 4):
1. sistematisasi pengetahuan;
2. menjelaskan, meramalkan, dan melakukan kontrol sosial
3. mengembangkan hipotesa

KLASIFIKASI TEORI SOSIOLOGI
Dalam sosiologi ditempuh berbagai cara untuk mengklasifikasikan teori. Ritzer dalam buku Teori Sosiologi Modern Edisi ke-6 (2006) meskipun tidak menyebutkan secara eksplisit, namun dalam karyanya itu dapat dilihat klasifikasi berdasarkan pada urutan waktu lahirnya teori sosiologi. Klasifikasi yang hampir sama juga dilakukan oleh Doyle Paul Johnson (1986) dalam bukunya Teori Sosiologi Klasik dan Modern. Ritzer dalam bukunya membagi sebagai berikut:

1. Teori Sosiologi Klasik (Sosiologi Tahun-Tahun Awal)
Periode ini ditandai oleh munculnya aliran Sosiologi Perancis dengan tokoh-tokoh: Saint-Simon, Auguste Comte, dan Emile Durkheim. Sosiologi Jerman dengan tokoh-tokoh: Karl Marx, Max Weber, dan Georg Simmel. Sosiologi Inggris yang dipelopori oleh Herbert Spencer. Serta Sosiologi Italia dengan tokoh Vilfredo Pareto.

2. Teori Sosiologi Modern.
Teori-teori ini merupakan pengembangan dari aliran-aliran Sosiologi Klasik. Aliran-aliran utama dalam teori sosiologi modern ini meliputi: Sosiologi Amerika, Fungsionalisme, Teori Konflik, Teori Neo-Marxis, Teori Sistem, Interaksionisme Simbolik, Etnometodologi, Fenomenologi, Teori Pertukaran, Teori Jaringan, Teori Pilihan Rasional, Teori Feminis Modern, Teori Modernitas Kontemporer, Strukturalisme, dan Post-Strukturalisme
3. Teori Sosial Post-Modern.
Aliran teori ini merupakan kritik atas masyarakat modern yang dianggap gagal membawa kemajuan dan harapan bagi masa depan. Para teoritisi yang tergabung dalam aliran ini antara lain: Michael Foucoult, Jean Baudrillard, Jacques Derrida, Jean Francois Lyotard, Jacques Lacan, Gilles Deleuze, Felix Guattari, Paul Virilio, Anthony Giddens, Ulrich Beck, Jurgen Habermas, Zygmunt Bauman, David Harvey, Daniel Niel Bell, Fredric Jameson.
Klasifikasi lain juga dikemukakan Ritzer (1992) dalam karyanya Sociology: A Multiple Paradigm Science (Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda). Di dalamnya teori sosiologi diklasifikasikan berdasarkan paradigma. Paradigma adalah sebagai suatu pandangan mendasar dari suatu disiplin ilmu tentang apa yang menjadi pokok persoalan. Menurut Ritzer, sosiologi dibagi menjadi 3 paradigma, yaitu:
Paradigma Fakta Sosial, meliputi Teori Fungsionalisme Struktural, Teori Konflik, Teori Sistem, dan Teori Sosiogi Makro;
Paradigma Definisi Sosial, meliputi Teori Aksi, Teori Interaksionisme Simbolik, dan Fenomenologi;
Paradigma Perilaku Sosial, meliputi Teori Pertukaran Sosial dan Teori Sosiologi Perilaku.
Klasifikasi berbeda juga dilakukan oleh Collins (Sunarto, 2000: 227) dengan mengacu pada pemikiran sosiologi seabad lalu yang diidentifikasi berdasarkan luas ruang lingkup pokok bahasan, yaitu:
Teori Sosiologi Makro, yaitu teori-teori yang difokuskan pada analisis proses sosial berskala besar dan jangka panjang, meliputi teori tentang: evolusionisme, sistem, konflik, perubahan sosial, dan stratifikasi
Teori Sosiologi Mikro, yaitu teori yang diarahkan untuk analisis rinci tentang apa yang dilakukan, dikatakan, dan dipikirkan manusia dalam pengalaman sesaat, mencakup teori tentang interaksi, diri, pikiran, peran sosial, definisi situasi, konstruksi sosial terhadap realitas, strukturalisme, dan pertukaran sosial.
TEORI-TEORI SOSIOLOGI
Dalam artikel ini akan disajikan beberapa teori sosiologi yang penting yaitu yang sering digunakan para sosiolog yang ada untuk membedah suatu fenomena social yang terjadi di dalam masyarakat. Tapi saya hanya kan memeparkan teori-teori sosiologi klasik saja. Beberapa tokoh yang termasuk di dalam teori sosiologi klasik yaitu antara lain :
a. Auguste Comte
Auguste Comte (1798-1857) sangat prihatin terhadap anarkisme yang merasuki masyarakat saat berlangsungnya Revolusi Perancis. Oleh karena itu Comte kemudian mengembangkan pandangan ilmiahnya yakni positivisme atau filsafat sosial untuk menandingi pemikiran yang dianggap filsafat negatif dan destruktif. Positivisme mengklaim telah membangun teori-teori ilmiah tentang masyarakat melalui pengamatan dan percobaan untuk kemudian mendemonstrasikan hukum-hukum perkembangan sosial. Aliran positivis percaya akan kesatuan metode ilmiah akan mampu mengukur secara objektif mengenai struktur sosial.
Sebagai usahanya, Comte mengembangkan fisika sosial atau juga disebutnya sebagai sosiologi. Comte berupaya agar sosiologi meniru model ilmu alam agar motivasi manusia benar-benar dapat dipelajari sebagaimana layaknya fisika atau kimia. Ilmu baru ini akhirnya menjadi ilmu dominan yang mempelajari statika sosial (struktur sosial) dandinamika sosial (perubahan sosial).
Comte percaya bahwa pendekatan ilmiah untuk memahami masyarakat akan membawa pada kemajuan kehidupan sosial yang lebih baik. Ini didasari pada gagasannya tentang Teori Tiga Tahap Perkembangan Masyarakat, yaitu bahwa masyarakat berkembang secara evolusioner dari tahap teologis (percaya terhadap kekuatan dewa), melalui tahapmetafisik (percaya pada kekuatan abstrak), hingga tahap positivistik (percaya terhadap ilmu sains). Pandangan evolusioner ini mengasumsikan bahwa masyarakat, seperti halnya organisme, berkembang dari sederhana menjadi rumit. Dengan demikian, melalui sosiologi diharapkan mampu mempercepat positivisme yang membawa ketertiban pada kehidupan sosial.
b. Emile Durkheim
Untuk menjelaskan tentang masyarakat, Durkheim (1859-1917) berbicara mengenaikesadaran kolektif sebagai kekuatan moral yang mengikat individu pada suatu masyarakat. Melalui karyanya The Division of Labor in Society (1893). Durkheim mengambil pendekatan kolektivis (solidaritas) terhadap pemahaman yang membuat masyarakat bisa dikatakan primitif atau modern. Solidaritas itu berbentuk nilai-nilai, adat-istiadat, dan kepercayaan yang dianut bersama dalam ikatan kolektif. Masyarakat primitif/sederhana dipersatukan oleh ikatan moral yang kuat, memiliki hubungan yang jalin-menjalin sehingga dikatakan memiliki Solidaritas Mekanik. Sedangkan pada masyarakat yang kompleks/modern, kekuatan kesadaran kolektif itu telah menurun karena terikat oleh pembagian kerja yang ruwet dan saling menggantung atau disebut memiliki Solidaritas Organik .
Selanjutnya dalam karyanya yang lain The Role of Sociological Method (1895), Durkheim membuktikan cara kerja yang disebut Fakta Sosial, yaitu fakta-fakta dari luar individu yang mengontrol individu untuk berpikir dan bertindak dan memiliki daya paksa. Ini berarti struktur-struktur tertentu dalam masyarakat sangatlah kuat, sehingga dapat mengontrol tindakan individu dan dapat dipelajari secara objektif, seperti halnya ilmu alam. Fakta sosial terbagi menjadi dua bagian, material (birokrasi dan hukum) dan nonmaterial (kultur dan lembaga sosial).
Dua tahun kemudian melalui Suicide (1897), Durkheim berusaha membuktikan bahwa ada pengaruh antara sebab-sebab sosial (fakta sosial) dengan pola-pola bunuh diri. Dalam karya itu disimpulkan ada 4 macam tipe bunuh diri, yakni bunuh diri egoistik (masalah pribadi), altruistik (untuk kelompok), anomik (ketiadaan kelompok/norma), dan fatalistik (akibat tekanan kelompok). Berdasarkan hal itu Durkheim berpendapat bahwa faktor derajat keterikatan manusia pada kelompoknya (integrasi sosial) sebagai faktor kunci untuk melakukan bunuh diri.
Melalui karya-karyanya, Durkheim selalu berpijak pada fungsi kolektif sebagai bentuk aktivitas sosial, fakta sosial, dan kesatuan moral. Durkheim mewakili kutub struktural dari perdebatan “struktural” versus “tindakan sosial” atau perdebatan “konsensus” versus “konflik” yang berlangsung sepanjang sejarah sosiologi.
c. Karl Marx
Karl Marx (1818-1883) melalui pendekatan materialisme historis percaya bahwa penggerak sejarah manusia adalah konflik kelas. Marx memandang bahwa kekayaan dan kekuasaan itu tidak terdistribusi secara merata dalam masyarakat. Oleh karena itu kaum penguasa yang memiliki alat produksi (kaum borjuis/kapitalis) senantiasa terlibat konflik dengan kaum buruh yang dieksploitasi (kaum proletar).
Menurut Marx, sejarah segala masyarakat yang ada hingga sekarang pada hakikatnya adalah sejarah konflik kelas. Di zaman kuno ada kaum bangsawan yang bebas dan budak yang terikat. Di zaman pertengahan ada tuan tanah sebagai pemilik dan hamba sahaya yang menggarap tanah bukan kepunyaannya. Bahkan di zaman modern ini juga ada majikan yang memiliki alat-alat produksi dan buruh yang hanya punya tenaga kerja untuk dijual kepada majikan. Di samping itu juga ada masyarakat kelas kaya (the haves) dan kelas masyarakat tak berpunya (the haves not). Semua kelas-kelas masyarakat ini dianggap Marx timbul sebagai hasil dari kehidupan ekonomi masyarakat
Proposisi utama Marx mengatakan bahwa kapitalisme adalah bentuk organisasi sosial yang didasarkan pada eksploitasi buruh oleh para pemilik modal. Kelas borjuis kapitalis mengambil keuntungan dari para pekerja dan kaum proletar. Mereka secara agresif mengembangkan dan membangun teknologi produksi. Dengan demikian kapitalisme menciptakan sebuah sistem yang mendunia.
Sosiologi Marxis tentang kapitalisme menyatakan bahwa produksi komoditas mau tak mau membawa sistem sosial yang secara keseluruhan merefleksikan pengejaran keuntungan ini. Nilai-nilai produksi merasuk ke semua bidang kehidupan. Segala sesuatunya, penginapan, penyedia informasi, rumah sakit, bahkan sekolah kini menjadi bisnis yang menguntungkan. Tingkat keuntungannya menentukan berapa banyak staf dan tingkat layanan yang diberikan. Inilah yang dimaksud Marx bahwa infrastruktur ekonomi menentukan suprastruktur (kebudayaan, politik, hukum, dan ideologi).
Pendekatan Sosiologi Marxis menyimpulkan mengenai ide pembaruan sosial yangtelah terbukti sebagai ide yang hebat pada abad XX, sebagai berikut (Osborne, 1996: 50):
1) Semua masyarakat dibangun atas dasar konflik.
2) Penggerak dasar semua perubahan sosial adalah ekonomi.
3) Masyarakat harus dilihat sebagai totalitas yang di dalamnya ekonomi adalah faktor dominan.
4) Perubahan dan perkembangan sejarah tidaklah acak, tetapi dapat dilihat dari hubungan manusia dengan organisasi ekonomi.
5) Individu dibentuk oleh masyarakat, tetapi dapat mengubah masyarakat melalui tindakan rasional yang didasarkan atas premis-premis ilmiah (materialisme historis).
6) Bekerja dalam masyarakat kapitalis mengakibatkan keterasingan (alienasi).
7) Dengan berdiri di luar masyarakat, melalui kritik, manusia dapat memahami dan mengubah posisi sejarah mereka.
Melalui kritik ilmiah dan aksi revolusioner, masyarakat dapat dibangun kembali.
Sosiologi Marxis ini selanjutnya dikembangkan oleh tokoh-tokoh abad XX, seperti Gramsci, Adorno, Althusser, dan Habermas.
d. Herbert Spencer
Herbert Spencer (1820-1903) menganjurkan Teori Evolusi untuk menjelaskan perkembangan sosial. Logika argumen ini adalah bahwa masyarakat berevolusi dari bentuk yang lebih rendah (barbar) ke bentuk yang lebih tinggi (beradab). Ia berpendapat bahwa institusi sosial sebagaimana tumbuhan dan binatang, mampu beradaptasi terhadap lingkungan sosialnya. Dengan berlalunya generasi, anggota masyarakat yang mampu dan cerdas dapat bertahan. Dengan kata lain “Yang layak akan bertahan hidup, sedangkan yang tak layak akhirnya punah”. Konsep ini diistilahkan survival of the fittest. Ungkapan ini sering dikaitkan dengan model evolusi dari rekan sejamannya yaitu Charles Darwin. Oleh karena itu teori tentang evolusi masyarakat ini juga sering dikenal dengan nama Darwinisme Sosial.
Melalui teori evolusi dan pandangan liberalnya itu, Spencer sangat poluler di kalangan para penguasa yang menentang reformasi. Spencer setuju terhadap doktrin laissez-fairedengan mengatakan bahwa negara tak harus mencampuri persoalan individual kecuali fungsi pasif melindungi rakyat. Ia ingin kehidupan sosial berkembang bebas tanpa kontrol eksternal.Spencer menganggap bahwa masyarakat itu alamiah, dan ketidakadilan serta kemiskinan itu juga alamiah, karena itu kesejahteraan sosial dianggap percuma. Meski pandangan itu banyak ditentang, namun Darwinisme Sosial sampai sekarang masih terus hidup dalam tulisan-tulisan populer.
e. Max Weber
Max Weber (1864-1920) tidak sependapat dengan Marx yang menyatakan bahwa ekonomi merupakan kekuatan pokok perubahan sosial. Melalui karyanya, Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme, Weber menyatakan bahwa kebangkitan pandangan religius tertentu– dalam hal ini Protestanisme– yang membawa masyarakat pada perkembangan kapitalisme. Kaum Protestan dengan tradisi Kalvinis menyimpulkan bahwa kesuksesan finansial merupakan tanda utama bahwa Tuhan berada di pihak mereka. Untuk mendapatkan tanda ini, mereka menjalani kehidupan yang hemat, menabung, dan menginvestasikan surplusnya agar mendapat modal lebih banyak lagi.
Pandangan lain yang disampaikan Weber adalah tentang bagaimana perilaku individu dapat mempengaruhi masyarakat secara luas. Inilah yang disebut sebagai memahami Tindakan Sosial. Menurut Weber, tindakan sosial dapat dipahami dengan memahami niat, ide, nilai, dan kepercayaan sebagai motivasi sosial. Pendekatan ini disebutverstehen (pemahaman).
Weber juga mengkaji tentang rasionalisasi. Menurut Weber, peradaban Barat adalah semangat Barat yang rasional dalam sikap hidup. Rasional menjelma menjadi operasional (berpikir sistemik langkah demi langkah). Rasionalisasi adalah proses yang menjadikan setiap bagian kecil masyarakat terorganisir, profesional, dan birokratif. Meski akhirnya Weber prihatin betapa intervensi negara terhadap kehidupan warga kian hari kian besar.
Dalam karyanya yang terkenal lainnya, Politik sebagai Panggilan, Weber mendefinisikan negara sebagai sebuah lembaga yang memiliki monopoli dalam penggunaan kekuatan fisik secara sah, sebuah definisi yang menjadi penting dalam studi tentang ilmu politik.
f. Georg Simmel
Georg Simmel (1858-1919) sangat terkenal karena karyanya yang spesifik tentangtindakan dan interaksi individual, seperti bentuk-bentuk interaksi, tipe-tipe orang berinteraksi, kemiskinan, pelacuran, dan masalah-masalah berskala kecil lainnya. Karya-karya Simmel ini nantinya menjadi rujukan tokoh-tokoh sosiologi di Amerika.
Karya yang terkenal dari Simmel adalah tentang Filsafat Uang. Simmel sebagai sosiolog cenderung bersikap menentang terhadap modernisasi dan sering disebut bervisi pesimistik. Pandangannya sering disebut Pesimisme Budaya. Menurut Simmel, modernisasi telah menciptakan manusia tanpa kualitas karena manusia terjebak dalam rasionalitasnya sendiri. Sebagai contoh, begitu teknologi industri sudah mulai canggih, maka keterampilan dan kemampuan tenaga kerja secara individual makin kurang penting. Bisa jadi semakin modern teknologi, maka kemampuan tenaga individu makin merosot bahkan cenderung malas.
Di sisi lain, gejala monetisasi di berbagai faktor kehidupan telah membelenggu masyarakat terutama dalam hal pembekuan kreativitas orang, bahkan mampu mengubah kesadaran. Mengapa? Uang secara ideal memang alat pembayaraan, tetapi karena kekuatannya, uang menjadi sarana pembebasan manusia atas manusia. Artinya uang sudah tidak dipahami sebagai fungsi alat, tetapi sebagai tujuan. Kekuatan kuantitatifnya telah mampu mengukur berbagai jarak sosial yang membentang antar individu, seperti cinta, tanggung jawab, dan bahkan mampu membebaskan atas kewajiban dan hukuman sosial. Barang siapa memiliki uang dialah yang memiliki kekuatan.

g. Ferdinand Tonnies
Ferdinand Tonnies (1855-1936) mengkaji bentuk-bentuk dan pola-pola ikatan sosial dan organisasi sehingga menghasilkan klasifikasi sosial. Menurut Tonnies, masyarakat itu bersifat gemeinschaft (komunitas/paguyuban) atau gesselschaft (asosiasi/ patembayan).
Masyarakat gemeinschaft adalah masyarakat yang mempunyai hubungan sosial tertutup, pribadi, dan dihargai oleh para anggotanya, yang didasari atas hubungan kekeluargaan dan kepatuhan sosial. Komunitas seperti ini merupakan tipikal masyarakat pra-industri atau masyarakat pedesaan. Sedangkan pada masyarakat gesselschaft, hubungan kekeluargaan telah memudar, hubungan sosial cenderung impersonal dengan pembagian kerja yang rumit. Bentuk seperti ini terdapat pada masyarakat industri atau masyarakat perkotaan. Tema dasar Tonnies adalah hilangnya komunitas dan bangkitnya impersonalitas.Ini menjadi penting dalam kajian tentang masyarakat perkotaan.
Dari beberapa tokoh diatas kalau kita lihat ada satu teoriyang bias di bilang hamper menyerupai dengan teori dari tokoh lain, tapi juga ada yang bertentangan atau saling menjelek-jelekkan. Hal ini tidak lain karena setiap tokoh mempunyai pandangan tersendiri dalam melihat keadaan dan situasi dalam suatu masyarakat. Menurut saya tidak ada teori yang salah diantara tokoh-tokoh tersebut atau tokoh-tokoh yang lainya, karena keadaan suatu masyarakat memang selalu dinamis, berubah-ubah sesuai dengan jamanya. Terserah kita mau mengikuti pendapatnya siapa yang jelas pemikiran anda menunjukan sikap dan kepribadian anda.
Daftar pustaka
Ritzer, George & Douglas J. Goodman. 2005. Teori Sosiologi Modern. Penyadur: Alimandan. Jakarta: Kencana

Horton, Paul B. dan Chester L. Hunt. 1992. Sosiologi Jilid 2. Terjemahan Aminuddin Ram dan Tita Sobari. Jakarta: Erlangga.
Siahaan, Hotman M. 1986. Pengantar ke Arah Sejarah dan Teori Sosiologi. Jakarta: Erlangga.
Soekanto, Soerjono. 2002. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

5 comments:

Saa RF mengatakan...

makasih ya sdh berkunjung...jadi anda tahu kepribadian saya bagaiaman?

the_Andri_pakKetu mengatakan...

kita tidak bisa melihat teori suatu tokoh dari tokoh tersebut atau dari satu pandangan, lihatlah dari pandangan tokoh lain juga.... seperti teori Karl Marx mengenai Alienasi, kita juga harus melihat pandangan Durkheim mengenai Alienasi sebagai landasan pada teori Suicide / Bunuh Dirinya... postmu bagus Bud, 7 Tokoh dikemukakan langsung.... tapi kurang detail bro... But, keep Posting.. wokey... Salam Ngapak

Unknown mengatakan...

terimakasih telah mengunjungi blog saya juga,,,
buat andri,, ya semoga ini awal yang baik,, tapi paling tidak kita dapat mengambil manfaatnya,, salam semangat sukses....

Anonim mengatakan...

budd...foto2mu nggilani ee..

Unknown mengatakan...

buat sara salam kenal aja

Posting Komentar

Be Differ

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Online Project management